Konflik bersenjata yang meningkat antara Iran dan Israel, telah memberikan lonjakan ke pasar energi global. Ketegangan geopolitik telah meningkatkan kekhawatiran akan gangguan pasokan, khususnya di sekitar Selat Hormuz—titik kritis yang dilalui hampir 20% minyak dunia.
Harga minyak mentah Brent melonjak 4,4% menjadi $76,45 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) naik 4,28% menjadi $74,84. Meskipun belum ada kerusakan infrastruktur besar yang dikonfirmasi, pasar minyak bereaksi terhadap risiko eskalasi yang lebih luas.
Iran merupakan produsen minyak terbesar ketiga OPEC, dilaporkan menghentikan sebagian produksi gas di ladang South Pars setelah serangan udara Israel yang memicu kebakaran. Sementara itu, Israel menargetkan depot minyak Shahran milik Iran, yang semakin memperparah ketidakstabilan regional.
Para Analis memperkirakan konflik tersebut dapat menambah “premium risiko” hingga $10 per barel pada harga minyak global. Kekhawatiran tambahan mencakup tabrakan kapal tanker dan gangguan elektronik di dekat Selat Hormuz, yang memperkuat kecemasan pasar.
Lonjakan harga ini memengaruhi ekonomi global. Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, memperingatkan bahwa kenaikan harga minyak dapat membebani APBN Indonesia, yang dapat berpotensi memicu inflasi dan melemahkan daya beli konsumen. Harga pertamax dan pertalite pun mungkin akan naik.
Dampak pada Negara-negara Penghasil Minyak
Negara-negara penghasil minyak siap memperoleh keuntungan dari lonjakan harga ini. Contohnya Rusia akan memperoleh keuntungan yang signifikan karena harga Brent yang lebih tinggi mendorong nilai minyak mentah Ural, komoditas ekspor utama yang menyumbang 35–40% dari pendapatan nasionalnya.
Produsen Timur Tengah seperti Arab Saudi dan UEA juga dapat memperoleh laba tak terduga, meskipun mereka tetap berhati-hati karena risiko ketidakstabilan regional yang dapat mengganggu produksi atau rute pengiriman minyak mentah. Resiko penutupan Selat Hormuz yang merupakan urat nadi penting untuk ekspor minyak Teluk—tetap menjadi ancaman yang membayangi.
Akan tetapi, keuntungan tersebut bukannya tanpa komplikasi. Harga yang tidak stabil dapat mengganggu kontrak jangka panjang dan perencanaan investasi, dan beberapa produsen mungkin menghadapi tekanan untuk meningkatkan produksi guna menstabilkan pasar, yang berpotensi membebani infrastruktur atau aliansi politik dalam organisasi OPEC.