Penurunan suku bunga acuan oleh Federal Reserve (The Fed)

Penurunan suku bunga acuan oleh Federal Reserve (The Fed) di tahun 2025 membawa dampak luas, baik secara global maupun terhadap ekonomi Indonesia. Berikut ini ringkasan dampaknya:

🌍 Dampak Global:

  • Peningkatan likuiditas internasional: Suku bunga rendah mendorong investor mencari imbal hasil lebih tinggi di negara berkembang.
  • Penguatan pasar saham: Saham global, termasuk indeks seperti S&P 500 dan Nasdaq, cenderung naik karena biaya pinjaman lebih murah.
  • Pelemahan dolar AS: Investor mulai beralih ke aset lain seperti emas dan mata uang negara berkembang.
  • Potensi resesi AS: Penurunan suku bunga sering menjadi sinyal perlambatan ekonomi, terutama jika disertai defisit fiskal tinggi.

Dampak ke Indonesia:

  • Arus modal masuk: Investor asing tertarik pada pasar Indonesia karena imbal hasil lebih tinggi, memperkuat nilai tukar rupiah.
  • Penguatan IHSG: Optimisme pasar terhadap pelonggaran moneter mendorong kenaikan indeks saham
  • Penurunan suku bunga BI: Bank Indonesia merespons dengan memangkas BI Rate, mendorong penyaluran kredit dan konsumsi.
  • Risiko capital reversal: Jika kondisi global memburuk, dana asing bisa keluar kembali secara cepat.

📉 Sektor yang Diuntungkan:

Properti dan kendaraan: Biaya pinjaman lebih murah mendorong pembelian.

Manufaktur dan UMKM: Beban bunga berkurang, meningkatkan margin keuntungan.

Investasi urun dana (crowdfunding): Proyek lokal jadi lebih menarik karena risiko impor berkurang.

Setelah Federal Reserve (The Fed) menurunkan suku bunga pada 2025, Bank Indonesia (BI) merespons dengan serangkaian langkah strategis untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Berikut ini ringkasan kebijakan BI:

📉 Penurunan BI Rate:

BI telah dua kali menurunkan suku bunga acuan masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) pada Januari dan Mei 2025, sehingga BI Rate kini berada di 5,50%.

Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan masih ada ruang untuk pemangkasan lanjutan, tergantung pada inflasi dan dinamika global.

💰 Pelonggaran Likuiditas:

BI menambah insentif likuiditas makroprudensial (KLM) dari Rp293 triliun menjadi sekitar Rp371 triliun untuk mendorong sektor perumahan, pertanian, dan UMKM.

Penurunan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dan peningkatan Rasio Pendanaan Luar Negeri (RPLN) juga dilakukan untuk memberi fleksibilitas pada perbankan.

💵 Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah:

BI melakukan intervensi di pasar valas, baik melalui transaksi spot, DNDF (Domestic Non-Deliverable Forward), maupun pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

Strategi ini bertujuan menjaga daya tarik aset keuangan domestik dan mencegah volatilitas nilai tukar.

📊 Operasi Moneter Pro-Market:

BI memperkuat transmisi penurunan suku bunga melalui pengelolaan struktur suku bunga instrumen moneter dan swap valas.

Termasuk memperkuat peran dealer utama dalam transaksi SRBI dan repo antarpelaku pasar.

📱 Digitalisasi Sistem Pembayaran:

BI memperluas akseptasi QRIS antarnegara, termasuk uji coba dengan Jepang dan Tiongkok, untuk mendukung perdagangan dan UMKM.

🔮 Proyeksi ke Depan:

BI memproyeksikan inflasi tetap terkendali dalam kisaran 2,5±1%, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 4,7–5,5% pada 2026.

Penurunan suku bunga The Fed diperkirakan berlanjut secara bertahap hingga mencapai 3,5% pada akhir 2026, yang akan terus memengaruhi kebijakan BI.

ref

DampakEkonomiInvestasiSuku BungaThe Fed